MK Batalkan Aturan Pelaporan Kelahiran Maksimal 1 Tahun
13 Jun 2013 Posted By: dukcapil (dilihat 10391 kali)
Mahkamah Konstitusi (MK), 30-04-2013 memutuskan aturan satu tahun batas pelaporan kelahiran inkonstitusional. Putusan dengan Nomor 18/PUU-XI/2013 ini dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar dengan didampingi hakim konstitusi lainnya pada Selasa (30/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
âMenyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Kata âpersetujuanâ dalam Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 32/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai sebagai âkeputusanâ,â ujar Akil membacakan putusan yang dimohonkan oleh seorang tukang parkir asal Surabaya, Mutholib.
Selain itu, Akil menyebut frasa âsampai dengan 1 (satu) tahunâ dalam Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 32/2006 tentang Administrasi Kependudukan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 32/2006 tentang Administrasi Kependudukan selengkapnya menjadi, âPelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempatâ.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Mahkamah menilai frasa âpersetujuanâ yang termuat dalam Pasal 32 ayat (1) UU 23/2006 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam proses pencatatan dan penerbitan akta kelahiran karena persetujuan bersifat internal di Instansi Pelaksana. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, untuk menentukan kepastian hukum yang adil, dicatat atau tidak dicatatnya kelahiran yang terlambat dilaporkan perlu keputusan dari Kepala Instansi Pelaksana yang didasarkan pada penilaian mengenai kebenaran tentang data yang diajukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. âSehingga frasa âpersetujuanâ dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang a quo harus dimaknai sebagai âkeputusanâ Kepala Instansi Pelaksana,â paparnya.
Maria melanjutkan, Mahkamah menilai pelayanan akta kelahiran menjadi rumit dan berbelit-belit akibat kelahiran yang terlambat dilaporkan kepada Instansi Pelaksana setempat yang melampaui batas waktu 60 hari sampai dengan satu tahun seperti pasal tersebut. Menurut Mahkamah, keterlambatan melaporkan kelahiran yang lebih dari satu tahun yang harus dengan penetapan pengadilan akan memberatkan masyarakat. âKeberatan tersebut bukan saja bagi mereka yang tinggal jauh di daerah pelosok tetapi juga bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan,â jelas Maria.
Lagipula, lanjut Maria, proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum. Proses untuk memperoleh akta kelahiran yang membutuhkan prosedur administrasi dan waktu yang panjang serta biaya yang lebih banyak dapat merugikan penduduk, padahal akta kelahiran tersebut merupakan dokumen penting yang diperlukan dalam berbagai keperluan.
âOleh karena itu, Pasal 32 ayat (2) UU 23/2006 selain bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945, hal tersebut juga bertentangan dengan prinsip keadilan, karena keadilan yang tertunda sama dengan keadilan yang terabaikan (justice delayed, justice denied),â ungkapnya.
Sedangkan mengenai frasa âsampai dengan satu tahunâ dalam Pasal 32 ayat (1) UU 23/2006 menjadi tidak relevan lagi setelah Pasal 32 ayat (2) UU 23/2006 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, sambung Maria, frasa âsampai dengan satu tahunâ dalam Pasal 32 ayat (1) UU 23/2006 harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
âoleh karena Pasal 32 ayat (2) UU 23/2006 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka frasa âdan ayat (2)â dalam Pasal 32 ayat (3) UU 23/2006 tidak mempunyai relevansi lagi, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,â tandas Maria.
sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=8403